Jadilah mereka sebagai qurota a’yun (sebagai penyejuk mata) yang mendatangkan kebahagiaan kala memandangnya, yang menyejukkan kala mendengar suaranya
SETIAP manusia mengidamkan kebahagiaan dalam hidupnya. Hidup yang bahagia, dilimpahi jutaan karunia dan dikeliling kebaikan. Hingga semua orang terlantas saling bergerak mengupayakan kebahagiaannya.
Beberapa memulainya dengan merencanakan masa depan, lalu secara perlahan menentukan strategi kehidupan yang diinginkannya.
Tapi kita seringkali terjebak dalam definisi kesuksesan yang materialistik; berharta triliun, berkendara pribadi, berperusahaan, berkantong tebal. Hingga tak kita kenali bahwa kesuksesan dan kebahagiaan adalah apa yang terlahir dari dalam hati. Ya, bahagia itu sederhana dan bahkan sangat dekat. Karena ia ada dalam hati.
Tokoh-tokoh besar yang berpenghasilan milyaran perbulannya, memiliki real estate di banyak tempat, memiliki pulau pribadi, hingga tak habis akalnya berpikir bagaimana caranya menghabiskan hartanya. Bahkan hingga tak terasa yang banyak itu seakan tak memberikan nikmat dalam penggunaannya. Lebih dari itu, banyak pula orang yang begitu berani mengakhiri hidupnya justru di kala kariernya berada di puncak.
Kemudian apakah sesungguhnya kebahagiaan itu? Dimanakah letak kebahagiaan itu? Bisakah ia dibeli atau ditukar?
Jawabannya sederhana, sahabat. Kebahagiaan itu ada dalam beberapa makna, yaitu:
Pertama, letaknya ada dalam hati yang penuh syukur
Al-Quran mengingatkan;
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka pasti azabKu sangat berat.” (QS: Ibrahim [14]:7).
Allah berikan pemakluman, bahwa insan tersering lalai dan lupa. Ia, Sang Maha Pemberi berjanji akan membalasnya berlipat kali, jika kita mensyukuri segala apa yang tertakdir untuk dijalani. Tapi, lihatlah jika kita yang telah dimafhumi juga kemudian ingkar, Ia hanya memberi jelaskan bahwa azabNya tak mampu kita tanggung. Maka akankah pikir kita merentang di jeda antara syukur atau kufur dengan kesadaran diri bahwa kita adalah hamba yang selayaknya memuja. Bukan senantiasa terus meminta dan terlupa ucap terima kasih kepadaNya.
Kedua, menjelma dalam harta yang halal
Takarlah dan hisablah kali pertama sebelum segala apa yang tersuap ke dalam lambung kita. Makanan dan minuman itu, apakah semuanya terjamin dari harta yang halal atau tersubhat dengan sesuatu yang kotor lagi riba. Sedikit atau banyaknya akan merusak kebaikan, menghanguskan keberkahan dan mendatangkan siksa.
Maka mengapa kita menyerah dan berputus asa terhadap rezeki yang halal lagi baik. Karena Allah-lah yang memberi dan menggariskan jalan rezeki. Melalui kedua tangan yang terus mengais dan hati yang terus mendekat, dunia dan seisinya bahkan akan mengejar kita. Kita hanya diwajibkan berikhtiar, sisanya izinkan Allah yang melaksanakan bagiannya. Bukankah Allah Maha Segala Daya.
وَكَأَيِّن مِن دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ankabut [29]:60).
Ketiga, bahagia karena agama menawarkan sejuta keselamatan
Tsaqofah terhadap dien ini, menghadirkan kesejukan dan kebahagiaan ruhiyah yang luar biasa. Islam itu adalah apa yang terlahir dari pemahaman yang menghadirkan kedamaian.
Keempat, umur yang diberkahi
Umur yang berkah dan mendatangkan keberkahan itu terletak dalam ketaatan, menginfakkan sebagian hartanya di sepanjang jalan dakwah dan mengharapkan surga sebagai visi hidupnya.
فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى
“Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kebahagiaan.” (QS:Al-Lail [92]:5-7).
Kelima, pasangan yang sholeh
وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُوْلَئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“…. Sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang…” (QS: An-Nur [24]:26).
Keenam, anak yang menyenangkan
Jadilah mereka sebagai qurota a’yun (sebagai penyejuk mata) yang mendatangkan kebahagiaan kala memandangnya, yang menyejukkan kala mendengar suaranya dan menghangatkan dalam dekap peluknya. Mereka buah hati yang menyenangkan kala di dunia dan menghaturkan pahala kala di surga. Sungguh bahkan betapa indah kala mereka mampu menjadi bagian dari anak-anak yang berjiwa Qur’ani dan mencintai Rabb-nya.
Ketujuh, lingkungan Madani
Kita bisa belajar dan melayani pada lingkungan. Hal ini menyemangati kebahagiaan pribadi kita untuk mendorong terciptanya kebahagiaan sesama antara kita.
Amal sosial (al-ijtimaiyah) mencipta lingkungan agar lebih madani dan sejahtera. Sehingga itu, bahagia bukan hanya milik aku, kamu atau dia. Tapi kita.
Memang tidak semua lingkungan itu terkondisikan dalam rengkuh kebaikan. Semisal dengannya adalah penduduk Thaif kala masa nubuwwah. Terketika Rasul yang tengah berduka lantaran paman dan istri beliau wafat, itu hijrah ke dataran mereka, Thaif. Sikap kafir Quraisy semakin keras terhadapnya. Bahkan mereka mengerahkan anak-anak mereka untuk menolak kehadiran Rasul. Karenanya, anak-anak kecil itu pun melempari beliau dengan bebatuan di sepanjang perjalanan. Hingga kedua telapak kaki yang senantiasa membengkak lantaran berlama-lama kala shalatnya itu pun berdarah-darah. Kening dan seluruh tubuh beliau mengaromakan darah segar yang mengalir.
Rasa sakit yang membilur tubuh beliau menyeret kedua kaki beliau untuk sampai di salah satu kebun diantara kebun-kebun yang ada di Thaif. Di sanalah beliau menyandarkan punggungnya yang harum di sebatang pohon seraya berteduh. Beliau membalas perlakuan warga Thaif dengan sejuntai doa indah yang beliau panjatkan penuh khusyu ke mihrab Tuhannya.
“Ya Allah, kepadamu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya upayaku, dan kehinaanku di hadapan manusia, wahai Dzat yang Maha Penyayang. Engkau adalah Rabbnya orang-orang yang lemah dan Engkau adalah Rabbku. Kepada siapa engkau akan menyerahkan aku? Kepada orang jauh yang menatap marah padaku atau kepada musuh yang Engkau jadikan dia berkuasa atasku? Jika bukan karena kemurkaanMu lebih luas bagiku. Dengan cahaya wajahMu yang menyinari segala kegelapan dan menjadi baik segala urusan dunia dan akhirat, aku berlindung dari turunnya kemurkaanMu padaku. kepadaMu aku mengakui segala dosa dan kesalahan hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolonganMu.”
Allah perkenankan doa dari sang kekasih, karenanya menjadi baiklah penduduk Thaif. Mereka diberkahi dengan banyak kebaikan dari Rabbnya. Mereka berubah menjadi lingkungan madani yang mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan bagi sesamanya. Wallahu a’lam
loading...
0 comments Blogger 0 Facebook
Post a Comment